MASA PEMBENTUKAN DAN KEMAJUAN DINASTI BANI UMAYYAH
|
A.
Pendahuluan
Bani Umayyah adalah keturunan
Umayyah Ibn Abdul Syams, salah satu suku Quraisy yang dalam sejarah Islam
dikenal telah mendirikan pemerintahan dalam dua periode yaitu Damaskus dan Kordova.[1] Periode
pertama yaitu Dinasti Umayyah yang dirintis oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang
berpusat di Damaskus (Siria), periode ini berlangsung sekitar 90 tahun. dan
periode kedua adalah Dinasti Umayyah yang didirikan oleh Abd al-Rahman
al-Dakhil Ibn Muawiyah Ibn Hisyam yang berpusat di Kordova (Spanyol) yang pada
awalnya merupakan daerah taklukan Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh gubernur
Afrika Utara Musa Ibnu Nusayr pada zaman Khalifah Walid Ibn Abd al-Malik,
kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani
Abbas setelah berhasil menaklukan Dinasti Bani Umayyah di Damaskus.
|
Di masa pra-Islam Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim
yang juga merupakan klan suku Quraisy. Bani Umayyah lebih berperan di dalam
masyarakat Mekah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang
banyak bergantung pada para pengunjung Ka’bah, sementara Bani Hasyim adalah
orang-orang yang berekonomi sederhana.[2]
Ketika Agama Islam mulai berkembang dan mendapatkan pengikut, Bani Umayyah
merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya terancam. Oleh sebab itu mereka
menjadi penentang utama terhadap perjuangan Nabi Muhammad SAW, namun mereka
tidak pernah berhasil melumpuhkannya. Abu Sufyan Ibn Harb, salah seorang
anggota Bani Umayyah, sering kali menjadi jenderal dalam beberapa peperangan
melawan pihak Nabi Muhammad SAW. Setelah Islam menjadi kuat dan dapat merebut
Mekah, Abu Sufyan dan pihaknya menyerah, tetapi Nabi Muhammad SAW memberi
kebebasan kepada mereka. Salah seorang di antara mereka adalah Muawiyah Ibn Abi
Sufyan yang sebagaimana sisa-sisa penduduk Mekah lainnya kemudian memeluk
Islam.
Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin
Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf.
Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan
keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena
itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah.[3]
Umayyah adalah
pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya
mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan.
Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi
pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu
kental dengan kekuasaan.
Ketika terjadi
Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi
SAW (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid
bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka
daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal
yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah.
Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada
Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani
Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos
penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan
Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia
diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan
terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu
pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai
perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia
membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang
masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).[4]
Kekuasaan Muawiyah pada wilayah Syam
tersebut telah membuatnya mempunyai basis rasional untuk karier politiknya.
Karena penduduk Syam yang diperintah Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh,
terlatih dan terpilih di garis depan dalam melawan Romawi bersama-sama dengan
bangsawan Arab dan keturunan Umayyah yang berada sepenuhnya di belakang
Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik moral, manusia maupun kekayaan[5].
B.
Pembentukan
dan kemajuan Dinasti Bani Umayyah
1. Sejarah berdirinya Dinasti Bani Umayyah di
Syiria
Dinasti Bani
Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di
Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu
Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai
Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya
mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib.
Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah
dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayyah
mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun.
Mu’awiyah
dinobatkan sebagai khalifah di
‘Iliya (Yerusalem) pada 40 H/660 M.
Dengan penobatannya itu, ibu kota propinsi Suriah, Damaskus, berubah menjadi
ibu kota kerajaan Islam. Meskipun telah resmi dinobatkan sebagai khalifah,
Mu’awiyah memiliki kekuasaan yang terbatas karena beberapa wilayah Islam tidak
mengakui kekhalifahannya. Selama proses arbitrase berlangsung ‘Amr Ibn Al-‘Ash,
tangan kanan Mu’awiyah, telah merebut Mesir dari tangan pendukung Ali. Meski
demikian, para penduduka di wilayah Irak, mengangkat al-Hasan, putera tertua
‘Ali, sebagai penerus ‘Ali[6]
yang sah, sedangkan penduduk di Mekah dan Madinah tidak memiliki loyalitas yang
kokoh kepada penguasa dari keturunan Sufyan, karena baru mengakui kenabian
Muhammad pada saat penaklukan Mekah. Selain itu, pengakuan keislaman mereka
lebih merupakan upaya menyelamatkan kehormatan, didasari oleh keyakinan yang
jujur. Penguasa yang diakui oleh penduduk Irak, yaitu al-Hasan- yang lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah bersma harem-haremnya ketimbang di kerajaan-
enggan melibatkan diri dalam pemerintahan. Ia tidak lama menjabat sebagai
khalifah, untuk kemudian menyerahkan jabatan kepada pesaingnya yang lebih cakap
dan menghabiskan sisa hidupnya di Madinah dengan tenang dan nyaman. Ia
mengambil langkah itu setelah diiming-imingi janji bahwa Mu’awiyah akan
memberinya subsidi dan pensiun seumur hidup sebesar lima Juta Dirham dari
perbendaharaan Kufah, ditambah pemasukan dari sebuah distrik di Persia.[7]
Daulah
Bani Umayyah terbangun dari iklim pemberontakan sebagai akibat dari
pemberontakan yang dikobarkan Muawiyah melawan Ali, dan Ia memenangkan
peperangan tersebut[8].
Pengangkatan dirinya sebagai pemegang pucuk pemerintahan berlangsung melalui
proses yang panjang; bermula dari terbunuhnya Khalifah Usman Ibn Affan dan
digantikan oleh Ali Ibn Abi Thalib. Semula Mu’awiyah mempunyai ambisi untuk
menggantikan Usman, tetapi gagal karena Ali telah di baiat. Meskipun demikian
Mu’awiyah tidak kehabisan akal dalam merongrong pemerintahan khalifat keempat
ini. Dia menuntut bela atas kematian Usman, tetapi Ali tidak segera
mengindahkan seruannya. Disamping itu kebijakan Ali yang terlalu cepat memecat
gubernur-gubernur dan pejabat-pejabat pemerintah yang diangkat oleh Usman serta
pengambilalihan tanah-tanah dan kekayaan-kekayaan Negara yang telah
dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarga-keluarganya mengakibatkan meletusnya
suatu pertempuran dahsyat yang dikenal dalam sejarah dengan perang Siffin, yang
terjadi di dataran terbuka Siffin sebelah selatan Raqqah, di tepi barat sungai
Efrat, dua pasukan akhirnya saling berhadapan; Ali yang dikabarkan membawa
pasukan sebanyak 50.000 orang Irak, dan Muawiyah membawa tentara Siria, dengan
sikap setengah hati karena kedua belah pihak berusaha mereka-reka hasil akhir,
pertempuran berlangsung berlarut-larut selama beberapa minggu. Pertempuran
terakhir terjadi pada tanggal 28 Juli 657 M. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar,
pasukan Ali hampir menang. Namun Amr Ibn al-Ash yang cerdik dan licik ,
pemimpin pasukan Muawiyah, melancarkan siasat. Salinan Al-Quran yang dilekatkan
diujung tombak, tiba-tiba diacung-acungkan (sebuah tanda yang diartikan sebagai
seruan untuk mengakhiri bentrokan senjata dan mengikuti keputusan Al-Quran)[9].
Peperangan akhirnya berhenti. Karena desakan para pengikutrnya, Ali yang baik
hati itu menerima usulan Muawiyah untuk melakukan arbitrase dalam persoalan
mereka dan menyelamatkan jiwa umat Islam[10]. Tahkim
antara pihak Ali dan pihak Mu’awiyah dilangsungkan dengan masing-masing pihak
mengirim utusannya. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan
pihak Mu’awiyah diwakilioleh Amr Ibn ‘Ash. Perundingan kedua hakim ini
dimenangkan oleh Amr Ibn ‘Ash dengan licik. Pihak Ali tidak menyetujui
cara-cara yang dilakukan pihak Mu’awiyah sehingga peperangan antara keduanya
meletus lagi[11].
Semenjak
terjadinya peristiwa tahkim itu, sebagian pasukan ali memisahkan diri karena
tidak setuju dengan tahkim tersebut. Kelompok yang memisahkan diri ini
menamakan dirinya kelompok Khawarij. Sebaliknya tentara Mu’awiyah masih kuat
karena masih utuh. Akhirnya kemenangan jatuh di tangan Mu’awiyah, terutama
karena kematian Ali di tangan salah seorang kaum Khawarij yang bernama
Abdurrahman Ibn Muljam pada 24 Januari 661 M[12].
Mu’awiyah menggunakan kesempatan ini untuk menyusun strategi dengan baik dalam
rangka mengambil alih kekosongan pemerintahan.[13]
Dengan
meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah
berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni
kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan
berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan
kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan
demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau
demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah
sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi).
Semula
ada upaya dari pihak Hasan, Putera Ali, untuk menuntut balas kematian ayahnya.
Selain itu ada yang mengusulkan supaya
Hasan menggantikan posisi ayahnya. Akan tetapi Hasan menyaksikan kemampuan diri
dan kekuatan yang dimilikinya, sehingga pada akhirnya ia bersedia mengakui
Mu’awiyah sebagai khalifah dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Mu’awiyah
tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak (karena sebelumnya
penduduk Irak adalah pendukung Ali Ibn Abi Thalib dan merupakan orang-orang
yang membaiat Hasan sebagai khalifah),
2.
Mu’awiyah
menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka,
3.
Pajak
tanah negeri Ahwaz (sekarang kota di propinsi Khuzistan, Irak) diperuntukkan
kepadanya dan diberikan tiap-tiap tahun,
4.
Mu’awiyah
membayat kepada saudaranya, Husein, dua juta Dirham, dan
5.
Pemberian
untuk Bani Hasyim harus lebih banyak dari pada Bani Abdi Syam (karena
jasa-jasanya terhadap Islam dan karena lebih dahulu masuk Islam).
Bagi Mu’awiyah
semua persyaratan itu tidak jadi masalah. Yang penting baginya adalah Hasan
mengakui nya sebagai Khalifah. Hasan dan Husein bersama penduduk Kufah membaiat
Mu’awiyah sebagai khalifah ketika Mu’awiyah berkunjung ke sana paa bulan
Rabiulawal 41 H. Karenanya tahun tersebut dalam sejarah dikenal dengan “tahun
persatuan”. Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa Khulafa
al-Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam[14].
Muawiyah tidak
mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia
naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah
Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai
(al-Maududi, 1984:167)[15].
Pada realitasnya
banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena
keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara arbitrase yang curang.
Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan
Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi
menuju sistem monarkhi (kerajaan). Langkah awal dalam rangka memperlancar
pengangkatan Yazid sebagai penggantinya adalah menjadikan Yazid Ibn Muawiyah
sebagai putera mahkota tahun 53 H[16].
Walaupun Muawiyah
mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti
ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam
pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan
mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa
keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang
menentangnya adalah kafir[17].
Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan
tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan
Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah. Dengan kata lain
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus
ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh
melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang
yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan
hukum-hukum syariat.
Keberhasilan
Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis
rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun
faktor keberhasilan tersebut adalah:
1.
Dukungan
yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2.
Sebagai
administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para
pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.
Muawiyah
memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat
(hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu,
yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara
mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan
dan intimidasi[18].
Kemajuan
Dinasti Bani Umayyah
a.
Kemajuan
Sistem Sosial, Politik, dan Ekonomi
1)
Sistem
Sosial
Masa pemerintahan
Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, karena banyak kebijakan
politiknya yang berrtumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan. Hanya
dalam jangka 90 tahun, banyak bangsa yang masuk kedalam kekuasaannya.
Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika utara, Syria, Palestina Jazirah
Arab, Iraq, Persia, Afganistan, Pakistan, Uzbekistan, dan wilayah Afrika Utara
sampai Spanyol.[19]
Namun demikian, Bani Umayyah banyak berjasa dalam pembangunan berbagai bidang,
baik politik, sosial, kebudayaan, seni, maupun ekonomi dan militer, serta
teknologi komunikasi. Dalam bidang yang terakhir ini, Muawiyah mencetak uang,
mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya disepanjang jalan, beserta angkatan bersenjatanya
yang kuat.
Dalam
lapangan sosial, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa
Muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki kebudayaan
yang telah maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akulturasi budaya antara Arab (yang memiliki ciri-ciri
Islam) dengan tradisi bangsa-bangsa lain yang bernaung dibawah kekuasaan Islam
(Amin, 1997:106)[20].
Hubungan tersebut kemudian melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan
dibidang seni bangunan (arsitektur) dan ilmu pengetahuan. Masa pemerintahan
Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan mengatur administrasi pemerintahan dengan
langkah-langkah antara lain; (1) menggunakan Bahasa Arab dalam urusan keuangan
dan administrasi pemerintahan terutama di daerah-daerah yang sebelumnya belum
menggunakan Bahasa Arab, (2) menyeragamkan sistem perpajakan di seluruh wilayah
kekuasaannya, (3) mengganti mata uang yang berlaku di seluruh wilayah
kekuasaannya, yaitu uang denarius yang bergambar kaisar Romawi, dengan Dinar
Islam yang bertuliskan angka Arab dan teks Al-Qur’an, (4) menggandakan dan menyempurnakan
Al-Qur’an mushaf Utsmn dengan memakai system baris (dhamah, fathah dan kasrah)
dan titik pada huruf tertentu sehingga dapat membedakan ت dengan ث,
د dengan ذ,
(5) membangun kubah Sahra di Masjid al-Aqsa di Yerusalem dan membangun kembali
Ka’bah setelah hancur dalam serangan Hajjaj Ibn Yusuf untuk menumpas Abdullah
Ibn Zubeir, dan (6) meningkatkan usaha pertanian, misalnya dengan membuat kanal
drainase untuk mengeringkan rawa di areal antara Sungai Eufrat dengan Sungai
Tigris[21]. Keberhasilan
Khalifah Abdu al-Malik diikuti oleh puteranya al-Walid
ibn Abdul Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua
personel yang terlibat dalam kegiatan humanis ini digaji oleh Negara secara
tetap. Dia juga yang membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah
dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan
mesjid-medjid yang megah[22].
Akibat
lainnya adalah juga banyak orang-orang dari negeri taklukan yang memeluk Islam.
Mereka adalah pendatang-pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar “al mawali”. Status tersebut
menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan Bangsa Arab. Mereka
tidak mendapat fasilitas dari penguasa Bani Umayyah sebagaimana yang didapatkan
oleh orang-orang muslim Arab. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn
Abd al-Aziz (717-720 M), dimana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan
akan memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam
agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, dimana pembangunan
dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat, kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab[23].
2)
Sistem
Politik
Perubahan
yang paling menonjol pada masa Bani Umayyah terjadi pada sistem politik,
diantaranya adalah:
a)
Politik
dalam Negeri
Pemindahan pusat
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada
pertimbangan politis dan keamanan.
Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah (pendukung Ali), dan juga
jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga bisa
terhindar dari konflik yang lebih tajam antar dua bani tersebut dalam
memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam
(Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman Muawiyah selama 20 tahun
sejak dia diangkat menjadi Gubernur di distrik ini sejak zaman Khalifah Umar
ibn Khattab[24].
Pembentukan
lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah al-Rasyidin,
untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang
semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah
dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
(a) Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar setempat
(b) Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
penerimaan dan pengeluaran Negara
(c) Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan
(d) Katib asy Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum
(e) Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan
tertib hukum melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat[25].
Masa Bani Umayyah
juga membentuk berbagai departemen baru antara lain bernama al-Hijabah, yaitu
urusan pengawalan keselamatan Khalifah. Dewan
ini sangat penting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir
kemudian diatasnya dicap[26].
Sedangkan pada
bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama
Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi
kedalam tiga badan yaitu:
·
Al-Qadha’,
bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada
“mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi
menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad
·
Al-Hisbah,
bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang
memerlukan tindakan cepat
·
An-Nadhar
fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding[27].
b)
Politik
Luar Negeri
Politik luar negeri
Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan
ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah. Pada zaman
Khalifah ar-Rasyidin wilayah Islam sudah demikian luas, tetapi perluasan
tersebut belum mencapai tapal batas yang tetap, sebab di sana-sini masih selalu
terjadi pertikaian dan kontak-kontak pertempuran di daerah perbatasan.
Daerah-daerah yang telah dikuasai oleh Islam masih tetap menjadi sasaran
penyerbuan pihak-pihakdi luar Islam, dari belakang garis perebutan tersebut.
Bahkan musuh diluar wilayah Islam telah berhasil merampas beberapa wilayah
kekuatan Islam ketika terjadi perpecahan-perpecahan dan
permberontakan-pemberontakan dalam negeri kaum muslimin (Syalaby, 1971:139)[28].
Berdasarkan kedaan semacam ini, terjadilah pertempuran-pertempuran antara Bani
Umayah dan negara-negara tetangga yang telah ditaklukkan pada masa khilafaur
rasyidin. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke sungai
Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang
dilakukan Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara
menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balk, Bukhara, Khawarizm,
Ferghana dan Samarkand. Tentaranya sampai ke India dan dapat menguasai
Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan[29].
Ekspansi
ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik. Pada
masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan
Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi
selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu
tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara
Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota
Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[30].
Pada saat itu, pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di
zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan
Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia
mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam
peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur
kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat
di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan
keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah
kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut
meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah[31].
Dengan
demikian, ekspansi yang dilakukan oleh orang Islam di masa Bani Umayyah adalah
semata-mata suatu tindakan untuk membela diri (defensif) dan jihad untuk
menyiarkan agama Islam, terutama terhadap penganut-penganut kepercayaan syirik,
yang menghalang-halangi sampainya ajaran Islam ke dalam hati sanubari rakyat
yang telah lama menanti-nantikannya.
Perluasan
yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu
daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ,
ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
i. Front pertempuran melawan bangsa
Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front
ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan
penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
ii. Front Afrika Utara. Front ini
meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan
sampai ke Spanyol.
iii. Front Timur. Ini meluas dan
terbagi kepada dua cabang, yang satu menuju ke utara, ke daerah-daerah
diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke
Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat[32].
3)
Sistem
Ekonomi
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami
kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal
itu memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri
taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam.
Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan
menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya
mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak
(Bosworth,1993:26)[33].
Tetapi
bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani
umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini
terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin
Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris,
memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan
keuangan[34].
Jadi
sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi
negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang
telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. Tetapi kebijakan yang paling
strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem penyamaan
keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata
uang asing Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai
kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak
sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya[35]
b.
Kemajuan
Intelektual
Kehidupan ilmu dan
akal, pada masa Dinasti Bani Umayyah pada umumnya berjalan seperti zaman
khalafaur rasyidin, hanya beberapa saja yang mengalami kemajuan, yaitu mulai
dirintis jalan ilmu naqli, berupa filsafat dan eksakta. Pada saat itu,
sebagaimana masa sebelumnya, ilmu berkembang dalam tiga bidang, yaitu diniyah,
tarikh dan filsafat. Tokoh filsafat yang terkenal (beragama nasrani) adalah
Yuhana al Dimaski, yang dikenal dalam Dunia KRISTEN sebagai Johannes Damacenes,
yang kemudian diteruskan oleh muridnya yang bernama Abu Qarra. Kebanyakan
masyarakat dan Khalifah Bani Umayyah mencintai syair. Pada masa itu lahir
beberapa penyair terbesar, seperti Ghayyats Taghlibi al-Akhtal, Jurair, dan
Al-Farazdak.
Kota-kota yang
menjadi pusat kegiatan ilmu, pada masa Daulah Bani Umayyah, masih seperti zaman
khafaur rasyidin, Yaitu kota Damaskus, Kufah, Basrah, Mekkah, Madinah, Mesir
dan ditambah lagi dengan pusat-pusat baru, seperti kota Kairawan, Kordoba, Granada
dan lain-lainnya[36]. Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani Umayyah
terbagi menjadi dua yaitu:
1)
Al-Adaabul
Hadisah (ilmu-ilmu baru), yang terpecah menjadi dua bagian:
(a)
Al-Ulumul
Islamiyah, yaitu ilmu-ilmu al-Qur’an, Lisaniyah, at-Tarikh dan al-Jughrafi,
al-Hadist, al-Fiqh,
(b)
Al-Ulumud
Dakhiliyah, yaitu ilmu-ilmu yang diperlukan oleh kemajuan Islam, seperti ilmu
thib, fisafat, ilmu pasti dan ilmu-ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
bahasa Persia dan Romawi.
2)
Al-Adaabul
Qadimah (ilmu-ilmu lama), yaitu ilmu-ilmu yang telah ada di zamanJahiliah dan
di zaman khalafaur rasyidin, seperti ilmu-ilmu lughah, syair, khitabahdan
amsaal.
Pada
permulaan masa Daulah Bani Umayyah orang Muslim membutuhkan hukum dan
undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Oleh karena itu mereka mempunyai
minat yang besar terhadap tafsir al-Qur’an. Ahli tafsir pertama dan termashur
pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Beliau menafsirkan al-Qur’an dengan
riwayat dan isnaad. Kesulitan-kesulitan kaum muslimin dalam mengartikan
ayat-ayat al-Qurr’an dicari dalam al-Hadist. Karena terdapat banyak hadist yang
bukan hadist, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist,
yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya. Maka kitab
tentang ilmu hadist mulai banyak dikarang oleh orang-orarng Muslim.
Diantara
para muhaddistin yang termashur pada zaman itu, yaitu:
1.
Abu
Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhry,
2.
Ibnu
Abi Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky,
Al-Auza’I Abdur Rahman bin Amr, Hasan Basri Asy-Sya’bi[37].
c.
Monumen-monumen
arsitektural
Bidang pembangunan
fisik juga tidak luput dari perhatian para khalifah Bani Umayyah. Masjid-masjid
di luar Semenanjung Arabia dibangun, Katedral St. John di Damaskus diubah
menjadi Masjid, dan Katedral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan
gereja. Masjid Madinah juga direstorasi dan di perluas dengan mengubah bekas
kamar-kamar para isteri Nabi SAW. Selain Masjid-masjid juga dibangun pula istana-istana untuk tempat beristirahat
di padang pasir seperti Qusayr Amrah dan al Musatta yang bekas-bakasnya masih
ada sampai sekarang.
Di Yerusalem, Kubah Batu diselesaikan pada tahun 691 M, monumen
Islam terpenting yang pertama, yang dengan bangga dijadikan supremasi Islam di
kota suci ini yang memiliki mayoritas pemeluk Kristen. ini mengumumkan bahwa
Islam telah sampai. Kubah ini juga meletakkan dasar-dasar gaya Islam artistic
dan arsitektural yang unik. tidak ada seni figuratif yang mungkin mengalihkan
ummat dari transendensi yang tidak bisa
dinyatakan secara layak dalam gambaran manusia. sebaliknya di dalam Kubah
tersebut dihiasi ayat-ayat al-Qur’an, Firman Tuhan. Kubah itu sendiri yang
menjadi ciri khas arsitektur muslim, adalah lambang yang menjulang tentang
naiknya ruh ke surge yang menjadi cita-cita orang-orang yang beriman, tapi juga
mencerminkan keseimbangan sempurna dan Tauhid. Eksteriornya, yang mencapai
ketiadaan batas langit, adalah suatu reflika yang sempurna. ini menggambarkan
cara dimana manusia dan Tuhan, dunia batin dan lahir, saling melengkapi seperti
dua belahan dari sesuatu yang utuh. Muslim lebih percaya diri, dan mulai
mengekspresikan visi spiritual mereka sendiri yang unik[38].
satu abad kemudian, bangunan itu direnovasi oleh Khalifah Abbasiyah, al-Makmun
(813-833 M), yang kemudian mengganti nama Abd al-Malik di atas Kubah dengan
namanya, namun lupa mengganti tanggalnya[39].
Di dekat Kubah itu, dan dibagian selatan kawasan suci, Abd al-Malik membangun
masjid lain. Masyarakat setempat menyebut istilah masjid tersebut dengan Masjid
al-Aqsha (masjid terjauh), tapi istilah tersebut juga digunakan dalam
pengertian yang umum sehingga mencakup seluruh bangunan suci di tempat itu.
Al-Haram al-Syarif (tempat suci yaqng
terhormat) adalah nama lain bagi bangunan ini, hanya saja nilai kesakralannya
lebih rendah dari pada Masjid al-Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah[40].
Namun arsitek terbesar Bani Umayyah adalah al-Walid, putera Abd
al-Malik, yang masa-masa pemerintahannya relatif damai dan sejahtera. Al-Walid
yang meninggal pada usia 40 tahun, memperluas dan mempercantik Masjid al-Haram
di Mekah, serta merenovasi Masjid Nabawi di Madinah. Ia juga membangun berbagai
institusi untuk melayani para penderita lepra, orang lumpuh dan buta di Siria.
Ia mungkin merupakan manusia pertama Abad Pertengahan yang membangun rumah
sakit bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang kelak
diikuti Barat. Prestasi terbesarnya adalah mengubah fungsi katedral St. Yahya
Pembaptis di Damaskus, yang ia rebut dari penduduk Kristen, menjadi Masjid yang
sangat agung. Masjid Umayah ini masih dianggap sebagai tempat suci keempat bagi
umat Islam, setelah Masjid al-Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha[41].
2.
Khalifah
dalam Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu
abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan empat belas Khalifah. Banyak kemajuan,
perkembangan dan perluasan daerah yang dicapai, lebih-lebih pada masa
pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Dimulai oleh kepemimpinan Muawiyyah bin Abi
Sufyan dan diakhiri oleh kepemimpinan Marwan bin Muhammad. Adapun urut-urutan
Khalifah Daulah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.
Muawiyah
ibn Abi Sufyan (661-681 M) Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani
Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari
Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa
pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti
pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu ia juga mengatur tentara
dengan cara baru dengan meniru aturan yang ditetapkan oleh tentara di
Bizantium, membangun administrasi pemerintahan dan juga menetapkan aturan
kiriman pos. Muawiyah meninggal Dunia dalam usia 80 tahun dan dimakamkan di
Damaskus di pemakaman Bab Al-Shagier.
2.
Yazid ibn Muawiyah (681-683 M) Lahir pada
tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk
menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada
tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Ia kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah,
memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara
ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn
Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi’ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi
(penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh
Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas
permintaan golongan Syi’ah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak
mengakui Yazid. Mereka mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran
yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein
kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke
Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala[42].
Masa pemerintahan Yazid dikenal dengan beberapa hal yang sangat hitam sepanjang
sejarah Islam, yaitu:
a.
Pembunuhan
Husein ibn Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad.
b.
Penggempuran
terhadap Bait Allah.
c.
Pertama
kalinya memakai dan menggunakan orang-orang kebiri untuk barisan pelayan rumah
tangga khalif didalam istana.
Ia Meninggal pada tahun 64 H/683 M dalam usia 38 tahun dan masa
pemerintahannya ialah tiga tahun dan enam bulan.
3.
Muawiyah
ibn Yazid (683-684 M) Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun
683-684 M dalam usia 23 tahun. Dia seorang yang berwatak lembut. Dalam
pemerintahannya, terjadi masa krisis dan ketidakpastian, yaitu timbulnya
perselisihan antar suku diantara orang-orang Arab sendiri. Ia memerintah hanya
selama enam bulan.
4.
Marwan
ibn Al-Hakam (684-685 M) Sebelum menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin
Affan, ia berhasil memperoleh dukungan dari sebagian orang Syiria dengan cara
menyuap dan memberikan berbagai hak kepada masing-masing kepala suku. Untuk
mengukuhkan jabatan Khalifah yang dipegangnya maka Marwan sengaja mengawini
janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid. Selama masa pemerinthannya tidak
meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam. Ia wafat dalam
usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari.
5.
Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M) Abdul Malik
ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685
M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan dan
kemulian. Ia terpandang sebagai Khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap
dan berhasil memulihkan kembali kesatuan Dunia Islam dari para pemberontak,
sehingga pada masa pemerintahan selanjutnya, di bawah pemerintahan Walid bin
Abdul Malik Daulah bani Umayyah dapat mencapai puncak kejayaannya. Ia wafat
pada tahun 705 M dalam usia yang ke-60 tahun. Ia meninggalkan karyakarya
terbesar didalam sejarah Islam. Masa pemerintahannya berlangsung selama 21
tahun, 8 bulan. Dalam masa pemerintahannya, ia menghadapi sengketa dengan
khalif Abdullah ibn Zubair.
6.
Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M) Masa
pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya tercatat
suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara
menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan
wilayah kekuasaan Islam juga sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan
panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai
kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Kordova, Granada dan Toledo. Selain
melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Walid juga melakukan pembangunan
besar-besaran selama masa pemerintahannya untuk kemakmuran rakyatnya. Khalifah
Walid ibn Malik meninggalkan nama yang sangat harum dalam sejarah Daulah Bani
Umayyah dan merupakan puncak kebesaran Daulah tersebut.
7.
Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M) Sulaiman
Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat
hingga mudah dipengaruhi penasehat-penasehat disekitar dirinya. Menjelang saat
terakhir pemerintahannya barulah ia memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu
Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya dengan
memegang jabatan wazir besar. Hasratnya untuk memperoleh nama baik dengan
penaklukan ibu kota Constantinople gagal. Satu-satunya jasa yang dapat
dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan
pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
8.
Umar
Ibn Abdul Aziz (717-720 M) Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada
usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Ia ingin mengembalikan corak
pemerintahan seperti pada zaman khulafaur rasyidin. Pemerintahan Umar
meninggalkan semua kemegahan Dunia yang selalu ditunjukkan oleh orang Bani
Umayyah. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, ia menyatakan bahwa mempernaiki
dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada
menambah perluasannya (Amin, 1987:104). Ini berarti bahwa prioritas utama
adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat,
ia berhasil menjalin hubuingan baik dengan Syi’ah. Ia juga membari kebebasan
kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Pajak diperingan. Kedudukan mawali (orang Islam yang bukan dari
Arab) disejajarkan dengan Muslim Arab. Pemerintahannya membuka suatu pertanda
yang membahagiakan bagi rakyat. Ketakwaan dan keshalehannya patut menjadi
teladan. Ia selalu berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Ia meninggal
pada tahun 720 M dalam usia 39 tahun, dimakamkan di Deir Simon.
9.
Yazid
ibn Abdul Malik (720-724 M) Yazid ibn Abdul Malik adalah seorang penguasa yang
sangat gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.
Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya
berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis,
masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid. Pemerintahan
Yazid yang singkat itu hanya mempercepat proses kehancuran Imperium Umayyah.
Pada waktu pemerintahan inilah propaganda bagi keturunan Bani Abas mulai dilancarkan
secara aktif. Dia wafat pada usia 40 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung
selama 4 tahun, 1 bulan.
10.
Hisyam
ibn Abdul Malik (724-743 M) Hisyam ibn Abdul Malik menjabat sebagai Khalifah
pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal negarawan yang cakap dan ahli strategi
militer. Pada masa pemerintahannya muncul satu kekuatan baru yang menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan ini berasal dari
kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman
yang sangat serius. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan baru ini mampu
menggulingkan Dinasti Umayyah dan menggantikannya dengan Dinasti baru, Bani
Abbas. Pemerintahan Hisyam yang lunak dan jujur menyumbangkan jasa yang banyak
untuk pemulihan keamanan dan kemakmuran, tetapi semua kebajikannya tidak bisa
membayar kesalahan-kesalahan para pendahulunya, karena gerakan oposisi terlalu
kuat, sehingga Khalifah tidak mampu mematahkannya. Meskipun demikian, pada masa
pemerintahan Khalifah Hisyam kebudayaan dan kesusastraan Arab serta lalu lintas
dagang mengalami kemajuan. Dua tahun sesudah penaklukan pulau Sisily pada tahun
743 M, ia wafat dalam usia 55 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 19
tahun, 9 bulan. Sepeninggal Hisyam, Khalifah-Khalifah yang tampil bukan hanya
lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin mempercepat runtuhnya Daulah
Bani Ummayyah.
11.
Walid
ibn Yazid (743-744 M) Daulah Abbasiyah mengalami kemunduran dimasa pemerintahan
Walid ibn Yazid. Ia berkelakuan buruk dan suka melanggar norma agama. Kalangan
keluarga sendiri benci padanya. Dan ia mati terbunuh. Meskipun demikian,
kebijakan yang paling utama yang dilakukan oleh -Walid ibn Yazid ialah
melipatkan jumlah bantuan sosial bagi pemeliharaan orang-orang buta dan
orang-orang lanjut usia yang tidak mempunyai famili untuk merawatnya. Ia
menetapkan anggaran khusus untuk pembiayaan tersebut dan menyediakan perawat
untuk masingmasing orang. Dia sempat meloloskan diri dari penangkapan
besar-besaran di Damaskus yang dilakukan oleh keponakannya. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 1 tahun, 2 bulan. Dia wafat dalam usia 40 tahun.
12.
Yazid
ibn Walid (Yazid III) (744 M) Pemerintahan Yazid ibn Walid tidak mendapat
dukungan dari rakyat, karena perbuatannya yang suka mengurangi anggaran belanja
negara. Masa pemerintahannya penuh dengan kemelut dan pemberontakan. Masa
pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan. Dia wafat dalam usia 46 tahun.
13.
Ibrahim ibn Malik (744 M) Diangkatnya Ibrahim
menjadi Khalifah tidak memperoleh suara bulat didalam lingkungan keluarga Bani Umayyah dan
rakyatnya. Karena itu, keadaan negara semakin kacau dengan munculnya beberapa
pemberontak. Ia menggerakkan pasukan besar berkekuatan 80.000 orang dari
Arnenia menuju Syiria. Ia dengan suka rela mengundurkan dirinya dari jabatan
khilafah dan mengangkat baiat terhadap Marwan ibn Muhammad. Dia memerintah
selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14.
Marwan
ibn Muhammad (745-750 M) Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang
pahlawan. Beberapa pemberontak dapat ditumpas, tetapi dia tidak mampu
mengahadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendudkungnya. Marwan ibn
Muhammad melarikan diri ke Hurah, terus ke Damaskus. Namun Abdullah bin Ali
yang ditugaskan membunuh Marwan oleh Abbas As-Syaffah selalu mengejarnya.
Akhirnya sampailah Marwan di Mesir. Di Bushair, daerah al Fayyun Mesir, dia
mati terbunuh oleh Shalih bin Ali, orang yang menerima penyerahan tugas dari
Abdullah. Marwan terbunuh pada tanggal 27 Dzulhijjah 132 H\5 Agustus 750 M.
Dengan demikian tamatlah kedaulatan Bani Umayyah, dan sebagai tindak lanjutnya
dipegang oleh Bani Abbasiyah.
C.
Kesimpulan
Bani
Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang
demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan).
Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin
sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah
Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan
jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa”
yang diangkat oleh Allah.
Kekuasaan
Bani Umayyah berlangsung selama 90 tahun (680-750 M). Dinasti ini dipimpin oleh
14 Khalifah, dengan urutan raja sebagai berikut yaitu: Muawiyah, Yazid ibn
Muawiyah, Muawiyah ibn Yazid, Marwan ibn Hakam, Abdul Malik ibn Marwan, Walid
ibn Abdul Malik, Sulaiman ibn Abdul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid ibn Abdul
Malik, Hisyam ibn Abdul Malik, Walid ibn Yazid, Yazid ibn Walid (Yazid III),
Ibrahim ibn Malik dan Marwan ibn Muhammad.
Pada
masa Daulah Bani Umayyah banyak kemajuan yang telah dicapai. Ekspansi yang
terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali dilanjutkan oleh Dinasti ini.
Sehingga kekuasaan Islam betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia,
Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah.
Di
samping melakukan perluasan wilayah kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa
dalam bidang pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan, misalnya mendirikan
dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang. Ilmu naqli,
yaitu filsafat dan ilmu eksakta mulai dirintis. Ilmu tafsir al-Qur’an
berkembang dengan pesat, karena orang Muslim membutuhkan hukum dan
undang-undang, yang bersumber pada al-Qur’an. Apabila menemui kesulitan dalam
melakukan penafsiran, mereka mencarinya dalam al-Hadist. Karena banyaknya
hadist palsu, maka timbullah usaha untuk mencari riwayat dan sanad al-Hadist,
yang akhirnya menjadi ilmu hadist dengan segala cabang-cabangnya.
[1]
Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Houve, 2002 hal. 130
[2]
Ensiklopedo Islam Jilid 5
[3]
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Umayyah, Jakarta, Bulan Bintang, 1997, hal.7
[5] Ali
Mufrodi, Islam di kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta, Logos, 1997 hal. 70
[6]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, 2010 hal. 235
[7]
Philip K. Hittti, History of the Arabs, Penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2010 hal. 236
[8]
Khoiron Nahdiyyin, Arkeologi
Sejarah-Pemikiran Arab_Islam, terjemahan dari Ats-Tsabit al-Mutahawwil Jilid
II, Yogyakarta, LKIS, 2007 hal. 71
[9]
Philip K. Hittti, hal. 225
[10] Philip
K. Hitti
[11]
Ensiklopedi Islam jilid 3, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Houve, 2002 hal. 247
[12]
Philip K. Hittti, hal. 227
[13]
Ensiklopedi Islam jilid 3, Jakarta hal. 248
[14]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet.
Ke 10, 2000 hal.41
[16]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008 hal. 104
[17]
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta,
Rajawali cet ke 1, 1994 hal. 167-168
[21]
Ensiklopedi Islam jilid 3, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Houve, 2002 hal. 15
[22]
Badri Yatim, hal. 45
[24]
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Rajawali cet ke
1, Jakarta, 1997 hal. 164
[25] A.
Hasjmy, Di mana Letaknya Negara Islam, Bina Ilmu, Surabaya, 1993 hal. 82
[26] A.
Hasjmy, 1993 hal. 172
[29]
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press Edisi
kedua,Jakarta, 2008 hal.61
[30]
Harun Nasution, 2008 hal. 56
[35] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. Ke 10,
2003 hal.44
[37]
A. Hasjmy, 1993 hal 183
[38]
Karen Armstrong, Islam Sejarah Singkat, Yogyakarta, Jendela, 2002 hal. 60
[39] Philip
K. Hittti, History of the Arabs, Penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2010 hal. 275
[41]
Ibid, hal 277
[42] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. Ke 10,
2003 hal.45
mkasih ya... materinya sangat membantu
BalasHapus