DASAR-DASAR PENGETAHUAN_Sub - PENALARAN
A.
Pendahuluan
Menurut Jujun S.
Suriasumantri (2007:33) Filsafat
Ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan cabang
pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu
tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini
sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial. Pembagian
ini lebih merupakan pembatasan bidang-bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu
alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak
terdapat perbedaan yang prinsip antara ilmu-ilmu alam dan sosial, dimana
keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. Filsafat ilmu merupakan
telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat
ilmu seperti:
Obyek apa yang
ditelaah ilmu ? bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan
daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan?
Bagaimana proses
yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang desebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/
teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu?.
|
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik proseduran yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ professional?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologis; kelompok
kedua adalah mengenai landasan epistemologis; dan kelompok ketiga adalah
mengenai landasan axiologis. Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni,
atau pengetahuan apa saja, pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang
berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari
ketiga aspek pengetahuan ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua
pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis
dan axiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain, dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh
disiplin. Dari pengertian inilah sebenarnya berkembang pengertian ilmu sebagai
disiplin, yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan
mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.[1]
Secara
simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu
manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar
dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah
dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan. Dalam
melakukan pilihan ini manusia berpaling pada pengetahuan.[2]
Manusia mengembangkan pengetahuannya
agar dapat mengatasi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya, dan memikirkan
hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun
lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, memberi makna bagi kehidupan,
manusia ‘memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya.
Intinya
adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi
dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan
pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang
bersifat khas. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua
hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa
yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi
informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu
alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini
disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan
pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu
menalar. Tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran, sebab tidak
semua kegiatan berpikir berdasarkan pada penalaran. Manusia bukanlah makhluk
yang hanya berpikir semata, akan tetapi manusia juga adalah makhluk yang merasa
dan mengindera, sehingga totalitas pengetahuan manusia berasal dari ketiga
sumber tersebut.[3]
B. Hakikat
Penalaran
Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman
kongkret, yang berkaitan dengan fakta-fakta, objek-objek, kejadian-kejadian,
atau peristiwa yang dilihat / dialami. Tetapi akal kita tidak puas hanya dengan
mengetahui fakta
saja. Akal kita ingin
mengerti mengapa sesuatu itu demikian adanya. Maka kita
bertanya terus dan mencari
bagaimana hal-hal yang kita ketahui itu berhubungan
satu sama lain, hubungan
apa yang terdapat diantara gejala-gejala yang kita alami, bagaimana kejadian
yang satu mempengaruhi, menyebabkan, atau ditentukan oleh kejadian yang lain.
Mengerti sungguh-sungguh berarti mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu
demikian.
1.
Secara umum, unsur-unsur pokok pemikiran
manusia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) unsur atau aktivitas, yaitu:[4]
a.
aktivitas pikiran yang pertama adalah
Pengertian. mengerti kenyataan dan membentuk suatu pengertian-pengertian
atas dasar pengetahuan keinderaan. Misalnya: pohon, tumbang, banjir,
awan, hitam, mobil, mahal, membeli, dan sebagainya.
b.
aktivitas pikiran yang kedua adalah Pernyataan.
Menyatakan hubungan yang ada diantara pengertian-pengertian yang telah
terbentuk, dengan menyatakan “ini adalah demikian” (S = P), atau
memisahkan/memungkiri dengan menyatakan “ini tidaklah demikian” (S ≠ P).
misalnya: pohon itu tumbang, awan hitam, mobil itu mahal, mobil
itu tidak murah. Hubungan antara dua hal dapat dinyatakan dengan berbagai
cara, yaitu:
(i)
hubungan berita
atau putusan
hubungan
antara dua hal yang sifatnya menyatakan atau menegaskan sesuatu. Hubungan ini
sifatnya masih sederhana (“ini
adalah
demikian atau
ini tidak demikian”). Misalnya: pohon-pohon tumbang, tanah longsor,
mobil itu mahal, aku tidak jadi membeli mobil itu.
(ii)
hubungan sebab-akibat (kausal)
hubungan
antara dua hal yang sifatnya saling mempengaruhi (kausalitas). Satu hal dapat
terjadi karena satu hal lainnya (“ini demikian karena …). Misalnya:
pohon-pohon tumbang karena tanah longsor, mobil itu mahal karenanya aku tidak
jadi membeli mobil itu.
(iii)
hubungan maksud-tujuan (final)
hubungan
antara dua hal dimana satu hal terjadi/dilakukan untuk tercapainya hal yang
lainnya (“ini demikian untuk …). Misalnya: pohon-pohon ditebang untuk
membuat jalan.
(iv)
hubungan bersyarat (kondisional)
hubungan
antara dua hal dimana satu hal terjadi/dilakukan sebagai syarat untuk
terjadinya hal yang lainnya (“kalau ini begini, maka itu begitu”).
Misalnya: kalau pemerintah akan membangun jalan di sana, maka pohon-pohon perlu
ditebang.
c.
Aktivitas akal yang terakhir adalah
Kesimpulan. Menyimpulkan, yaitu menghubungkan berbagai hal yang diketahui
itu sedemikian rupa sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Penyimpulan (inference)
adalah aktivitas yang bergerak dari pengetahuan yang dimiliki dan berdasarkan
pengetahuan itu menuju ke pengetahuan baru. Pengetahuan baru yang
merupakan hasil pemikiran itu kemudian disebut simpulan (conclusion).
Sah atau tidaknya suatu kesimpulan tergantung dari:
(i)
titik pangkal, yaitu premis-premis
(artinya: yang mendahului) harus benar dan tepat
(ii)
jalan
pikiran harus lurus atau logis, artinya harus ada hubungan yang sah antara
premis dan kesimpulan. Sebagai contoh, bandingkan tiga pemikiran berikut ini.
Perhatikan mengapa kesimpulan itu salah.
-
Semua orang berambut gondrong itu penjahat.
-
Semua penjahat harus dihukum.
-
Jadi, semua orang yang berambut gondrong
harus dihukum.
Pemikiran di atas salah meskipun jalan
pikirannya logis, karena titik pangkalnya
salah (berambut gondrong ≠ penjahat).[5]
2.
Pengertian dan Metode Penalaran
a.
Pengertian
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan
mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya
bersumber pada pengetahuan yang didapatnya lewat kegiatan merasa atau berpikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir, dan
bukan dengan perasaan, meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua
kegiatan berpikir menyadarkan diri kepada penalaran. Jadi penalaran merupakan
kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan
kebenaran.[6]
Penalaran
adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik)
yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.[7]Berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi
yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru
yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Penalaran
dapat pula diartikan sebagai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan
proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka
penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.
Ciri yang pertama ialah adanya suatu
pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat
kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau
dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses
berpikir logis. Berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan
berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan kata lain, menurut logika
tertentu. Hal yang patut kita sadari ialah bahwa berpikir logis itu mempunyai
konotasi yang bersifat jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Suatu
kegiatan berpikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika yang lain. Hal
ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut sebagai kekacauan
penalaran yang disebabkan oleh ketakkonsistenan kita dalam mempergunakan pola
berpikir tertentu.
Ciri
penalaran yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya.
Penalaran
merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis,
dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut
adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya
penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika
ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya
sendiri pula. Sifat analitik ini,
kalau
kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir
tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan
analisis, sebab analisis pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan
langkah-langkah tertentu.[8]
Penalaran tidak terlepas dari
imajinasi seseorang yang merupakan kemampuan untuk merangkaikan rambu-rambu
pikiran menurut sebuah pola tertentu. Dalam penyusunan hipotesis, umpamanya,
seorang ilmuwan berdasarkan data-data yang ada secara imajinatif mampu
megembangkan hipotesis yang baru, berdasarkan vis imaginativa:
kejeniusan seorang ilmuwan. Kebenaran dalam agama, menurut Randall dan Buchler,
tidaklah merupakan kebenaran yang bersifat harfiah (literal) atau faktual,
melainkan bersifat simbolik atau moral atau imajinatif.[9]
Seperti telah kita sebutkan di muka,
tidak semua kegiatan berpikir mandasarkan diri kepada penalaran. Berdasarkan
kriteria penalaran tersebut di atas maka dapat kita katakan bahwa tidak semua
kegiatan bepikir bersifat logis dan analitis. Atau lebih jauh dapat kita
simpulkan: cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak
logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka kita dapat membedakan secara
garis besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan
berdasarkan penalaran.
“Merasa”
merupakan suatu cara penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Dalam
hal penalaran kita belum berbicara mengenai materi dan sumber pengetahuan
tersebut, sebab seperti kita telah katakan, penalaran hanya
merupakan
cara berpikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka kegiatan
penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari
suatu sumber kebenaran.
Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya
yang berjudul Filsafat Ilmu (2006:12) mengatakan; Ada 2 cara pokok mendapatkan
pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua,
mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme,
dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif
dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide
yang
diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan
pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).
Pengetahuan yang dipergunakan dalam
penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang
berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang
kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan
bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran
mengembangkan paham empirisme.[10]
Pengetahuan juga dapat kita tinjau
dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi,
maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang
menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan lewat keyakinan
(kepercayaan) bahwa
yang diwahyukan itu
adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun
kegiatan berpikir
intuisi tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Jadi
dalam
hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran, melainkan
juga sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran
tertentu.[11]
Kegiatan berpikir juga ada yang
tidak berdasarkan penalaran misalnya intuisi. Intuisi merupakan suatu
kegiatan berpikir yang non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu
pola berpikir tertentu. Pemikiran intuitif ini memegang peranan yang penting
dalam masyarakat yang berpikir non-analitik, yang kemudian sering bergaul
dengan perasaan. Jadi secara luas dapat kita katakan bahwa cara berpikir
masyarakat dapat dikategorikan bepada berpikir analitik yang berupa penalaran
dan cara berpikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.[12]
b.
Metode Penalaaran
Penalaran
ilmiah pada dasarnya merupakan gabungan penalaran deduktif (rasionalisme) dan
induktif (empirisme). Metode berpikir induktif (rasionalisme) adalah metode
yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Generalisasi adalah bentuk dari metode
berpikir induktif.
Metode
berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum
terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang
khusus. Metode Deduktif dibuat dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus ( premis mayor, premis minor ).
Induksi merupakan cara berpikir untuk menarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan–pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan
terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara
sistematis, yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin
bersifat fundamental.[13]
Contoh
: -
kambing mempunyai mata
-
gajah mempunyai mata
-
demikian pula kucing, singa, dll.
-
Jadi semua binatang mempunyai mata.
Penalaran
deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi
adalah cara berpikir, yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum
menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun
dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung
silogisme ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor
dan premis minor. Kesimpulan
merupakan
pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis
tersebut. Kalau ditanyakan apakah kesimpulan itu benar, maka hal ini harus
dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Jika kedua premis yang
mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga
benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, ini
akan terjadi kalau cara penarikan kesimpulan itu salah. Jadi kebenaran suatu
kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran
premis minor dan kebenaran pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari
ketiga unsur tersebut adalah
salah maka
kesimpulannya sudah pasti akan salah. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru
bahwa a sama dengan c pada hakekatnya bukan merupakan pengetahuan
baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekuensi dari dua
pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa a sama
dengan b dan b sama dengan c. Kebenaran baru yang
didapatkan lewat penalaran deduktif ini dinamakan kebenaran tautologis.[14]
Contoh
: -
Semua mahluk mempunyai mata (premis mayor).
- Syarifah adalah seorang mahluk (premis minor)
- Jadi Syarifah mempunyai mata (kesimpulan)
3.
Kesesatan dalam Penalaran
Kesalahan logis (fallacy) bukanlah kesalahan dalam
fakta, misalnya: “Pangeran Diponegoro wafat tahun 1950”, tetapi merupakan
bentuk kesimpulan yang dicapai atas dasar logika atau penalaran yang keliru,
seperti: “Dadang lahir di bawah bintang Scorpio, maka hidupnya akan penuh penderitaan”.
Ada beberapa kesalahan logis yang kerapkali muncul dalam penalaran yang
dilakukan oleh individu, yaitu:
a. Generalisasi tergesa-gesa (Fallacy of Dramatic Instance).
b. Deduksi cacat.
c. Argumen ad Hominem.
d. Post hoc ergo propter hoc.
e. Argumentum ad Novitatem/Antiquatem (fallacy
of retrospective/future determinism).
f. Argumentum ad Verecundiam.
g. Argumentum ad Ignorantiam.[15]
C.
Penutup
Filsafat Ilmu merupakan bagian dari
epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
atau pengetahuan ilmiah. Filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu
alam dengan ilmu-ilmu sosial. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat
yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai landasan ontologis,
landasan epistemologis, dan mengenai landasan axiologis.
Manusia
mampu mengembangkan pengetahuannya agar dapat mengatasi kebutuhan demi kelangsungan
hidupnya. Kemampuan mengembangkan pengetahuan ini dipengaruhi oleh dua hal
yaitu bahasa dan kemampuan berpikir nalar.
Secara umum, unsur-unsur pokok pemikiran manusia dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) unsur atau aktivitas, yaitu Pengertian, Pernyataan, dan
Kesimpulan.
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas
dapat disebut logika. Ciri penalaran yang
kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya.
Penalaran
ilmiah pada dasarnya merupakan gabungan penalaran deduktif (rasionalisme) dan
induktif (empirisme).
Kesalahan logis (fallacy) bukanlah kesalahan dalam fakta,
tetapi merupakan bentuk kesimpulan yang dicapai atas dasar logika atau
penalaran yang keliru.
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 33-35.
[2] ibid, hal: 39
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 40-42
[5] Tim Unit Penelitian dan
Psikologi Fakultas PsikologUniversitas Airlangga, copyright 2008 hal: 3.
[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 42
[7]
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/wacana/173-penalaran.pdf (Penalaran Written
by Administrator Saturday, 16 May
2009 11:08 - Last Updated Sunday, 31 October 2010 06:19 1/2)
[8] ILMU DAN FILSAFAT http://www.tkplb.org/documents/etraining%20-%20KTI/ILMU%20DAN%20FILSAFAT.pdf Hal. 21 (10/11/10)
[9] ibid, hal.
[10] filsf_ilmu Dasar2 pengetahuan
[11]
Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007)
Hal: 42
[12] ILMU DAN FILSAFAT http://www.tkplb.org/documents/etraining%20-%20KTI/ILMU%20DAN%20FILSAFAT.pdf (10/11/10)
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/0bc9489e480cf064ab8d9238c2733e61e3e12bac.pdf
(10/11/10)
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/0bc9489e480cf064ab8d9238c2733e61e3e12bac.pdf
(10/11/10)
[15] Tim Unit Penelitian dan
Psikologi Fakultas PsikologUniversitas Airlangga, copyright 2008 hal: 3
Komentar
Posting Komentar