DASAR-DASAR PENGETAHUAN_Sub - PENALARAN

A.  Pendahuluan
          Menurut Jujun S. Suriasumantri (2007:33) Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan bidang-bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsip antara ilmu-ilmu alam dan sosial, dimana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti:
Obyek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut?  Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang desebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/ teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?.

1
 
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan  obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik proseduran yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ professional?
            Pertanyaan-pertanyaan seperti kelompok pertanyaan yang pertama disebut landasan ontologis; kelompok kedua adalah mengenai landasan epistemologis; dan kelompok ketiga adalah mengenai landasan axiologis. Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja, pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek pengetahuan ini diperkembangkan dan dilaksanakan. Dari semua pengetahuan maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis dan axiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Dari pengertian inilah sebenarnya berkembang pengertian ilmu sebagai disiplin, yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan.[1]
Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling pada pengetahuan.[2]
            Manusia mengembangkan pengetahuannya agar dapat mengatasi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya, dan memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, memberi makna bagi kehidupan, manusia ‘memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya.
Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran, sebab tidak semua kegiatan berpikir berdasarkan pada penalaran. Manusia bukanlah makhluk yang hanya berpikir semata, akan tetapi manusia juga adalah makhluk yang merasa dan mengindera, sehingga totalitas pengetahuan manusia berasal dari ketiga sumber tersebut.[3]

B.  Hakikat Penalaran
            Pengetahuan manusia bermula dari pengalaman-pengalaman kongkret, yang berkaitan dengan fakta-fakta, objek-objek, kejadian-kejadian, atau peristiwa yang dilihat / dialami. Tetapi akal kita tidak puas hanya dengan mengetahui fakta  
saja. Akal kita ingin mengerti mengapa sesuatu itu demikian adanya. Maka kita
bertanya terus dan mencari bagaimana hal-hal yang kita ketahui itu berhubungan
satu sama lain, hubungan apa yang terdapat diantara gejala-gejala yang kita alami, bagaimana kejadian yang satu mempengaruhi, menyebabkan, atau ditentukan oleh kejadian yang lain. Mengerti sungguh-sungguh berarti mengerti bagaimana dan mengapa sesuatu itu demikian.
1.    Secara umum, unsur-unsur pokok pemikiran manusia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) unsur atau aktivitas, yaitu:[4]
a.    aktivitas pikiran yang pertama adalah Pengertian. mengerti kenyataan dan membentuk suatu pengertian-pengertian atas dasar pengetahuan keinderaan. Misalnya: pohon, tumbang, banjir, awan, hitam, mobil, mahal, membeli, dan sebagainya.
b.    aktivitas pikiran yang kedua adalah Pernyataan. Menyatakan hubungan yang ada diantara pengertian-pengertian yang telah terbentuk, dengan menyatakan “ini adalah demikian” (S = P), atau memisahkan/memungkiri dengan menyatakan “ini tidaklah demikian” (S P). misalnya: pohon itu tumbang, awan hitam, mobil itu mahal, mobil itu tidak murah. Hubungan antara dua hal dapat dinyatakan dengan berbagai cara, yaitu:
(i)            hubungan berita atau putusan
hubungan antara dua hal yang sifatnya menyatakan atau menegaskan sesuatu. Hubungan ini sifatnya masih sederhana (“ini
adalah demikian atau ini tidak demikian”). Misalnya: pohon-pohon tumbang, tanah longsor, mobil itu mahal, aku tidak jadi membeli mobil itu.

(ii)           hubungan sebab-akibat (kausal)
hubungan antara dua hal yang sifatnya saling mempengaruhi (kausalitas). Satu hal dapat terjadi karena satu hal lainnya (“ini demikian karena …). Misalnya: pohon-pohon tumbang karena tanah longsor, mobil itu mahal karenanya aku tidak jadi membeli mobil itu.
(iii)          hubungan maksud-tujuan (final)
hubungan antara dua hal dimana satu hal terjadi/dilakukan untuk tercapainya hal yang lainnya (“ini demikian untuk …). Misalnya: pohon-pohon ditebang untuk membuat jalan.
(iv)         hubungan bersyarat (kondisional)
hubungan antara dua hal dimana satu hal terjadi/dilakukan sebagai syarat untuk terjadinya hal yang lainnya (“kalau ini begini, maka itu begitu”). Misalnya: kalau pemerintah akan membangun jalan di sana, maka pohon-pohon perlu ditebang.
c.    Aktivitas akal yang terakhir adalah Kesimpulan. Menyimpulkan, yaitu menghubungkan berbagai hal yang diketahui itu sedemikian rupa sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Penyimpulan (inference) adalah aktivitas yang bergerak dari pengetahuan yang dimiliki dan berdasarkan pengetahuan itu menuju ke pengetahuan baru. Pengetahuan baru yang merupakan hasil pemikiran itu kemudian disebut simpulan (conclusion). Sah atau tidaknya suatu kesimpulan tergantung dari:
(i)    titik pangkal, yaitu premis-premis (artinya: yang mendahului) harus benar dan tepat
(ii)    jalan pikiran harus lurus atau logis, artinya harus ada hubungan yang sah antara premis dan kesimpulan. Sebagai contoh, bandingkan tiga pemikiran berikut ini. Perhatikan mengapa kesimpulan itu salah.
-       Semua orang berambut gondrong itu penjahat.
-       Semua penjahat harus dihukum.
-       Jadi, semua orang yang berambut gondrong harus dihukum.
     Pemikiran di atas salah meskipun jalan pikirannya logis, karena titik            pangkalnya salah (berambut gondrong penjahat).[5]
2.    Pengertian dan Metode Penalaran
a.    Pengertian
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber pada pengetahuan yang didapatnya lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir, dan bukan dengan perasaan, meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyadarkan diri kepada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.[6]
            Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.[7]Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Penalaran dapat pula diartikan sebagai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
            Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis. Berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan kata lain, menurut logika tertentu. Hal yang patut kita sadari ialah bahwa berpikir logis itu mempunyai konotasi yang bersifat jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Suatu kegiatan berpikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan oleh ketakkonsistenan kita dalam mempergunakan pola berpikir tertentu.
            Ciri penalaran yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis, dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut
adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya sendiri pula. Sifat analitik ini,
                                      
kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.[8]
            Penalaran tidak terlepas dari imajinasi seseorang yang merupakan kemampuan untuk merangkaikan rambu-rambu pikiran menurut sebuah pola tertentu. Dalam penyusunan hipotesis, umpamanya, seorang ilmuwan berdasarkan data-data yang ada secara imajinatif mampu megembangkan hipotesis yang baru, berdasarkan vis imaginativa: kejeniusan seorang ilmuwan. Kebenaran dalam agama, menurut Randall dan Buchler, tidaklah merupakan kebenaran yang bersifat harfiah (literal) atau faktual, melainkan bersifat simbolik atau moral atau imajinatif.[9]
            Seperti telah kita sebutkan di muka, tidak semua kegiatan berpikir mandasarkan diri kepada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran tersebut di atas maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan bepikir bersifat logis dan analitis. Atau lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka kita dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan penalaran.
“Merasa” merupakan suatu cara penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Dalam hal penalaran kita belum berbicara mengenai materi dan sumber pengetahuan tersebut, sebab seperti kita telah katakan, penalaran hanya
merupakan cara berpikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran.
            Prof. Dr. Ahmad Tafsir dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu (2006:12) mengatakan; Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide
yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).
            Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.[10]
            Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi, maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa
yang diwahyukan itu adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun

kegiatan berpikir intuisi tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Jadi

dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran, melainkan juga sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran tertentu.[11]
            Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran misalnya intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Pemikiran intuitif ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikir non-analitik, yang kemudian sering bergaul dengan perasaan. Jadi secara luas dapat kita katakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan bepada berpikir analitik yang berupa penalaran dan cara berpikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.[12]
b.    Metode Penalaaran
Penalaran ilmiah pada dasarnya merupakan gabungan penalaran deduktif (rasionalisme) dan induktif (empirisme). Metode berpikir induktif (rasionalisme) adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum.   Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Metode Deduktif dibuat dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus ( premis mayor, premis minor ).     
            Induksi merupakan cara berpikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan–pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis, yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.[13]
Contoh :   -   kambing mempunyai mata     
-      gajah mempunyai mata
-      demikian pula kucing, singa, dll.
-      Jadi semua binatang mempunyai mata.
            Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir, yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogisme ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Kalau ditanyakan apakah kesimpulan itu benar, maka hal ini harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Jika kedua premis yang mendukungnya benar, maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, ini akan terjadi kalau cara penarikan kesimpulan itu salah. Jadi kebenaran suatu kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan kebenaran pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut adalah
salah maka kesimpulannya sudah pasti akan salah. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakekatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa a sama dengan b dan b sama dengan c. Kebenaran baru yang didapatkan lewat penalaran deduktif ini dinamakan kebenaran tautologis.[14]
Contoh :  -  Semua mahluk mempunyai mata (premis mayor).
-  Syarifah adalah seorang mahluk (premis minor)
-  Jadi Syarifah mempunyai mata (kesimpulan)
3.    Kesesatan dalam Penalaran
            Kesalahan logis (fallacy) bukanlah kesalahan dalam fakta, misalnya: “Pangeran Diponegoro wafat tahun 1950”, tetapi merupakan bentuk kesimpulan yang dicapai atas dasar logika atau penalaran yang keliru, seperti: “Dadang lahir di bawah bintang Scorpio, maka hidupnya akan penuh penderitaan”. Ada beberapa kesalahan logis yang kerapkali muncul dalam penalaran yang dilakukan oleh individu, yaitu:
            a. Generalisasi tergesa-gesa (Fallacy of Dramatic Instance).
            b. Deduksi cacat.
            c. Argumen ad Hominem.
            d. Post hoc ergo propter hoc.
       e. Argumentum ad Novitatem/Antiquatem (fallacy of retrospective/future                            determinism).

            f. Argumentum ad Verecundiam.
            g. Argumentum ad Ignorantiam.[15]
    
C.   Penutup
            Filsafat Ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai landasan ontologis, landasan epistemologis, dan mengenai landasan axiologis.
Manusia mampu mengembangkan pengetahuannya agar dapat mengatasi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Kemampuan mengembangkan pengetahuan ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu bahasa dan kemampuan berpikir nalar.
Secara umum, unsur-unsur pokok pemikiran manusia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) unsur atau aktivitas, yaitu Pengertian, Pernyataan, dan Kesimpulan.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Ciri penalaran yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya.
Penalaran ilmiah pada dasarnya merupakan gabungan penalaran deduktif (rasionalisme) dan induktif (empirisme).
Kesalahan logis (fallacy) bukanlah kesalahan dalam fakta, tetapi merupakan bentuk kesimpulan yang dicapai atas dasar logika atau penalaran yang keliru.


[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 33-35.

[2] ibid, hal: 39
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 40-42
4         Tim Unit Penelitian dan Psikologi Fakultas PsikologUniversitas Airlangga, copyright 2008 hal: 3.

[5] Tim Unit Penelitian dan Psikologi Fakultas PsikologUniversitas Airlangga, copyright 2008 hal: 3.

[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 42
[7] http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/wacana/173-penalaran.pdf (Penalaran Written by Administrator         Saturday, 16 May 2009 11:08 - Last Updated Sunday, 31 October 2010 06:19 1/2)

[9] ibid, hal.

[11] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007) Hal: 42

[15] Tim Unit Penelitian dan Psikologi Fakultas PsikologUniversitas Airlangga, copyright 2008 hal: 3 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA PEMBENTUKAN DAN KEMAJUAN DINASTI BANI UMAYYAH

HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN